Darurat Desa! Pentas Gugat Kritisi Pengelolaan Keuangan Desa

foto : ilustrasi ai  (Dok. Redaksi)



Kabupaten Madiun, klikmadiun.com  - Terbongkarnya kasus-kasus korupsi belakangan menyuluut kemarahan masyarakat Indonesia hingga memuncak pada aksi demonstrasi besar-besaran bulan lalu. Insiden dramatik ini seharusnya menjadi gong pemerintah untuk segera berbenah memperbaiki sistem pemerintahan yang notabene masih dikotori praktik-praktik korupsi maupun tindakan menyimpang lainnya.


Pembenahan bisa dimulai dari pemerintahan tingkat bawah, salah satunya adalah desa. Meski skala wilayah desa tidak terlalu besar, namun peluang untuk terjadi tindak korupsi sangat besar. Sebab aliran masuknya dana untuk desa berasal dari berbagai sumber, ditambah dengan regulasi pengelolaan keuangan desa yang dinilai masih belum komprehensif. 


Seperti diketahui bahwa sumber pendapatan desa berasal dari Pendapatan Asli Desa (PADes), Dana Desa (DD) dari APBN, Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD Kabupaten/Kota, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD), Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Hibah dan Sumbangan dari pihak ketiga. PADes mencakup hasil usaha, aset, swadaya, partisipasi, dan gotong royong masyarakat desa. Sementara itu perhitungan Alokasi DD didapatkan paling sedikit 10% dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD.


Hal ini memantik Koordinator Pentas Gugat Herukun untuk menyoroti lemahnya regulasi di pemerintahan desa khususnya wilayah Kabupaten Madiun. Menurutnya, dari keuangan desa inilah roda Pemerintahan Desa dapat dijalankan, untuk itu tata kelola keuangan desa perlu diatur agar setiap komponen dapat dibelanjakan secara sehat.


"Tata kelola keuangan desa perlu diatur agar setiap komponen dapat dibelanjakan secara sehat," ujar Herukun, Jumat (26/9).


Adapun di Kabupaten Madiun, perihal ketentuan komponen pembelanjaan APB Desa salah satunya diatur dalam Perbup Madiun No. 49 Tahun 2020 Tentang Penghasilan Tetap, Tunjangan, Penerimaan Lain yang Sah, Penghargaan Purna Bhakti, Uang Duka, dan Jaminan Kesehatan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa serta Tunjangan Badan Permusyawaratan Desa di Kabupaten Madiun.


Dalam peraturan di atas, pada BAB III Komponen Belanja APB Desa, pasal 3, ayat (1), menyebutkan bahwa Belanja Desa yang ditetapkan dalam APB Desa digunakan dengan ketentuan:


a. paling sedikit 70 % (tujuh puluh perseratus) dari jumlah anggaran

belanja Desa selain hasil pengelolaan tanah bengkok eks garapan dan BKK yang digunakan untuk mendanai:

1. penyelenggaraan Pemerintahan Desa termasuk untuk belanja operasional Pemerintahan Desa dan Insentif rukun tetangga dan rukun warga;

2. pelaksanaan pembangunan Desa;

3. pembinaan kemasyarakatan Desa;

4. pemberdayaan masyarakat Desa; dan

5. penanggulangan bencana, keadaan mendesak dan keadaaan darurat desa.


b. paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari anggaran belanja Desa selain hasil pengelolaan tanah bengkok eks garapan dan BKK dengan rincian penggunaan:

1. paling banyak 85% (delapan puluh lima perseratus) dari nilai paling banyak 30% (tiga puluh perseratus) digunakan untuk mendanai penghasilan tetap dan tunjangan Kepala Desa dan Perangkat Desa;

2. tunjangan BPD meliputi tunjangan pelaksanaan tugas dan fungsi dan tunjangan lainnya; dan

3. Operasional Badan Permusyawaratan Desa.


Tanggapan Pentas Gugat Indonesia


Dalam ruang narasi kali ini, Pentas Gugat membatasi hanya akan membahas tentang 70% potensi pembelanjaan dalam APB Desa (Perbup Madiun No. 49 Tahun 2020, red), meskipun sebenarnya ketentuan 70% dan 30% dalam pengelolaan keuangan desa merujuk pada Alokasi Dana Alokasi Desa (ADD), dimana sebagian besar digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa (70%) dan sisanya untuk penyelenggaraan pemerintahan desa (30%), bukan untuk Dana Desa (DD) yang umumnya memiliki ketentuan berbeda.


"Dengan demikian Perbup Madiun No. 49 Tahun 2020 layak dievaluasi karena cenderung menguntungkan pihak tertentu, terutama secara politis," tegasnya.


Pendapatan desa harus dikelola sesuai dengan prioritas pembangunan desa, pendidikan, pendidikan kemasyarakatan, pembinaan

kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat guna menciptakan lapangan kerja yang meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Desa.


Secara jelas UU No. 3 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, pasal 74, ayat (1), menyebutkan bahwa Belanja Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah.


Hal sama juga diatur melalui Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, pasal 23, ayat (6), menyebutkan: Ketentuan lebih lanjut belanja kegiatan pada sub bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati/Wali Kota mengenai pengelolaan keuangan Desa.

foto : Herukun, Koordinator Pentas Gugat (Dok. Pribadi)

“Bahwa kebutuhan akan adanya Peraturan Bupati yang mengatur tentang ketentuan detail belanja kegiatan sebesar 70% dalam APB Desa sangat perlu untuk disegerakan," tandasnya.


Perlunya ketentuan tersendiri yang mengatur komposisi pembelanjaan sebesar 70% dalam APB Desa seperti yang dimaksud Perbup Madiun nomor 49 Tahun 2020, adalah demi menjaga agar pembelanjaan keuangan desa sesuai peruntukannya, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Dengan lahirnya peraturan yang lebih jelas diharapkan semakin memperkecil peluang kebocoran APB Desa disalahgunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan titipan yang bukan merupakan tanggungjawab desa.


"Sepasma, BST, pengiriman atlit Kabupaten adalah contoh kegiatan yang bukan tanggungjawab desa, itu tanggungjawab Pemkab Madiun dan tidak boleh urunan-urunan antar desa," tukas Herukun.


Kurang cekatannya Pemkab Madiun dalam memproduksi kebijakan publik  yang potensial menyebabkan penyelewengan keuangan negara adalah kebiasaan buruk.


Sebagai contoh, ikon Pemkab Madiun adalah Kampung Pesilat, tetapi hingga saat ini Kabupaten Madiun belum memiliki payung hukum tentang kegiatan Kampung Pesilat. Padahal kegiatan Kampung Pesilat yang biasa disebut Paguyuban Kampung Pesilat membawa konsekuensi timbulnya pembiayaan, baik di tingkat Pemerintah Daerah, Kecamatan hingga di Pemerintah Desa. Uniknya struktur kepengurusan Paguyuban ini ada di hampir 198 desa, ada di 15 Kecamatan, namun tidak ada kepengurusan di level Kabupaten Madiun.


"Tolong segera hentikan budaya ketidakteraturan yang teratur di dalam sistem," pungkasnya.(klik-2)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama