May Day di Mata Ketua SBMR Madiun, Buruh Harus Berjuang Melawan Penghisapan Kapitalis

foto : Aris Budiono, Ketua SBMR (Dok. Pribadi)



Kota Madiun, klikmadiun.com - Mayday diperingati setiap tanggal 1 Mei sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan para pejuang buruh di masa lalu dalam merebut hak atas kesejahteraan, yaitu hak 8 jam kerja. Momentum Mayday adalah kenangan terhadap para buruh di Chicago yang tak kenal lelah dan mengorbankan segalanya untuk mendapatkan hak yang menunjukkan pada kita bahwa "hak tidak diberikan namun harus direbut".


Dalam momentum Mayday kali ini, Ketua Serikat Buruh Madiun Raya (SBMR) Aris Budiono menyampaikan pandangannya bahwa saat ini kaum buruh di era modern masih banyak yang mengalami penindasan oleh sistem kapitalis.


"Bahkan buruh dijadikan tumbal krisis oleh pemilik modal,"ujarnya, Rabu (30/4/2025).


Ia mengisahkan tentang perjuangan pekerja salah satu pabrik sepatu di Kabupaten Madiun yang mengalami pailit. Para buruh belum dibayar selama 4 bulan, sedangkan untuk memperjuangkan haknya yang belum dibayar tidaklah mudah, kaum buruh harus mengikuti proses yang sangat rumit. Ini menunjukan bahwa kaum buruh dijadikan tumbal krisis. Dalam satu hari saja tidak bekerja kaum buruh sudah kebingungan, sedangkan laba dari kaum pemodal masih bisa dimakan selama bertahun tahun oleh pemilik modal.


"Bahkan mereka bisa membuka pabrik lagi ditempat lain. Proses pailit di negeri ini ibarat merampok uang negara dengan sah. Bagaimana nilai yang dijaminkan salah satu Bank BUMN jauh lebih sedikit nilainya bila dibandingkan dengan nilai utang perusahaan?,"lanjut Aris.


Aris memberikan contoh perihal proses peminjaman modal di bank BUMN. 


"Ibaratnya utang 500 juta dan yang dijadikan jaminan hanya BPKB motor seharga 10 juta, secara logika tidak masuk akal,"tandasnya.


Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. Buruh hanya bisa pasrah ketika perusahaan dinyatakan pailit padahal yang menghasilkan laba adalah kaum buruh. Para kapitalis sering menyatakan laba didapat dari harga jual dikurangi harga beli atau akan berdalih kalau laba didapat dari membeli murah dan lalu menjual mahal.


"Tetapi ini keliru. Kalau semua orang melakukan ini, membeli murah dan menjual mahal, maka tidak akan ada laba yang datang. Laba kapitalis datang dari kerja yang dilakukan oleh buruh,"jelas Aris.


Nilai dari sebuah komoditas ditentukan oleh kuantitas kinerja yang dibutuhkan untuk proses produksi. Para kapitalis akan mempekerjakan buruh untuk melakukan beban kerja. Kapitalisme akan mencari ini di “pasar buruh”, yang juga sama seperti pasar komoditas. Bila ada banyak buruh, maka gaji buruh akan murah. Kalau persediaan buruh sedikit, maka gaji buruh akan mahal.


Kapitalis sebenarnya membeli lebour power yaitu kemampuan kerja, bukan sekedar kerjanya (labour). Nilai kemampuan-kerja seorang buruh ditentukan oleh waktu kerja (beban kerja) yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas. Jadi nilai kemampuan kerja seorang buruh ditentukan oleh apa saja yang dibutuhkan untuk menjaga keberadaan, kesehatan, dan kekuatan sang buruh untuk bekerja.


Contoh konkritnya adalah bagaimana pemerintah kapitalis menghitung UMK, yakni dengan menghitung biaya minimum untuk hidup cukup seorang buruh. Cukup yang dimaksud adalah cukup sandang, pangan, dan papan. Nilai kemampuan-kerja ini disebut gaji. 


Wajar ketika buruh menginginkan upah layak karena hasil kerja buruh hanya untuk pemilik modal, sementara buruh hanya digaji berdasarkan upah bukan hasil kerja buruh. 


Analisa pendapatan buruh dalam kubangan kapitalis


Aris membuat analisa tentang penghisapan pemilik modal yang mengambil hasil kerja buruh. Seorang buruh pabrik garmen di Madiun digaji UMK Madiun sebesar 2,5 jutaan atau 91 ribu per hari dengan waktu kerja 8 jam per hari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter. Harga kain sebelum menjadi pakain permeternya adalah 25 ribu atau 750 ribu untuk 30 meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya produksi lainnya ( listrik,keausan mesin dan alat kerja, red ) dihitung oleh pengusaha sebesar 250 ribu seharinya. 


Total biaya produksi adalah:

91 ribu (upah buruh)+ 750 ribu( untuk kain) +250 ribu ( biaya produksi lainnya) jadi total biaya produksi sebesar 1,9 juta. Tetapi pengusaha dapat menjual kain sebesar 350 ribu per potong.


Kemudian pemodal akan mendapatkan keuntungan dengan estimasi berikut: 

3,5 juta - 1,9 juta = 1,5 juta atau keuntungan sejamnya sebesar 192 ribu.

Jadi 8 jam kerja seorang buruh garmen telah menciptakan nilai baru sebesar 1,5 juta tapi buruh hanya dibayar sebesar 91 ribu sementara 1,4 juta menjadi milik pengusaha kapitalis.


Ini yang disebut nilai lebih. Padahal bila buruh dibayar 91 ribu seharusnya cukup bekerja kurang dari satu jam dan dapat pulang kerumah. Tetapi tidak, buruh tetap harus bekerja 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk produktif selama 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tersebut bekerja kurang dari satu jam untuk dirinya ( untuk menghasilkan nilai 91 ribu yang didapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam lebih untuk pengusaha ( 1,4 juta masuk dalam laba perusahaan). Inilah yang disebut penindasan dan penghisapan.


"Pokok masalah dari kesenjangan ekonomi ujung pangkalnya ada disini. Buruh harus terus berjuang untuk mendapatkan upah layak, jika upah buruh layak maka tingkat konsumsi akan naik begitu sebaliknya apa bila upah murah maka tingkat konsumsi akan rendah dan yang terjadi adalah krisis over produksi yang kita alami saat ini. Tanpa buruh alat produksi hanya jadi benda mati yang tidak menghasilkan profit,"tutupnya. (klik-2)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama